The Electric State: Menyelami Dunia Futuristik yang Menggetarkan dengan Visual Memukau

Jujur aja, waktu pertama kali denger tentang The Electric State, saya agak skeptis. Katanya sih film sci-fi, tapi yang nulis Russo Brothers? Yang biasa nanganin superhero? Tapi pas saya liat trailernya, wow. Langsung kena! Visualnya itu lho, berasa kayak lukisan yang hidup. Dan ternyata, film ini diadaptasi dari novel grafis karya Simon Stålenhag—yang juga bikin Tales from the Loop (itu juga keren, btw).

Ceritanya fokus ke seorang gadis remaja bernama Michelle, diperankan oleh Millie Bobby Brown (yang kita semua kenal dari Stranger Things), yang melakukan perjalanan lintas negara di dunia post-apocalyptic bareng robot pelindungnya buat nyari adik laki-lakinya yang hilang. Tapi ini bukan perjalanan biasa. Dunia di sekeliling mereka penuh reruntuhan teknologi, sisa-sisa perang drone, dan makhluk aneh yang entah masih hidup atau cuma bayangan masa lalu.

Bayangin The Last of Us dikawinkan sama Wall-E dan dikasih sentuhan Blade Runner. Kurang lebih begitu suasana yang dibangun.

🤖 Karakter Utama The Electric State: Robot, Anak Remaja, dan Dunia yang Kacau

keseruan flm  The Electric State

Yang bikin saya jatuh hati ke Movie The Electric State bukan cuma efek visualnya Udintogel, tapi karakter-karakternya yang unik dan emosional.

  • Michelle: Ini bukan sekadar gadis remaja kuat ala-ala film aksi biasa. Dia bawa beban emosional yang berat, kehilangan keluarga, tapi tetap punya harapan. Millie Bobby Brown bisa banget mainin karakter ini—emosinya dapet, tapi tetap ada momen-momen kecil yang bikin kita senyum sendiri.

  • Robot-nya Michelle: Nggak diberi nama manusia, cuma dipanggil “robot”. Tapi justru itu yang bikin dia menarik. Dia nggak banyak ngomong, tapi gesturnya penuh makna. Kayak punya jiwa, tapi bukan manusia. Dan di beberapa momen, saya lebih peduli sama si robot daripada karakter lain.

  • Drifter (yang diperankan oleh Chris Pratt): Awalnya saya pikir ini bakal jadi karakter yang template banget—si pria pemberani yang datang menolong. Tapi ternyata dia punya sisi gelap dan dilema moral sendiri yang bikin karakternya lebih berlapis.

Dan oh ya, ada karakter robot-robot tua yang kayak udah “pensiun”, hidup tanpa tujuan. Bagian ini bikin saya mikir tentang teknologi yang kita buang begitu aja pas udah nggak “berguna”.

🎥 Keseruan Menonton The Electric State: Visual, Emosi, dan Renungan

Nonton The Electric State tuh kayak baca novel sambil duduk di tengah museum seni modern.

Visualnya nggak main-main. Gurun pasir yang dipenuhi sisa-sisa robot raksasa, kota-kota mati yang ditelan alam, dan langit-langit penuh kabel mengambang. Warna-warnanya kalem tapi tetap distopia. Cinematografinya mirip Dune, tapi lebih personal dan membumi.

Saya nonton bareng anak SMA di sekolah pas acara pemutaran film sore (ya, saya guru yang suka ngajak nonton buat pelajaran “refleksi visual dan teknologi”). Dan mereka beneran terpukau. Beberapa bahkan nanya, “Pak, itu robotnya beneran ada ya?”—saking mulusnya efek CGI-nya.

Tapi bukan cuma soal keren-kerenan. Film ini menyelipkan pertanyaan besar tentang hubungan manusia dan teknologi, kehilangan, dan bagaimana kita tetap mencari harapan bahkan di dunia yang hampir runtuh. Saya sendiri sempet mewek sedikit pas adegan Michelle nemu mainan lama adiknya di tengah reruntuhan. So simple, but so deep.

🚀 Kenapa The Electric State Begitu Ditunggu?

Bukan cuma saya yang nungguin film ini. Banyak banget penggemar sci-fi, pembaca buku aslinya, bahkan komunitas penggemar AI dan teknologi pada heboh. Alasannya?

  1. Disutradarai Russo Brothers – Duo ini udah terbukti bisa nanganin film skala besar (ingat Avengers: Endgame?). Jadi ekspektasi otomatis tinggi.

  2. Cast-nya solid – Millie Bobby Brown, Chris Pratt, dan bahkan Giancarlo Esposito. Kombo ini aja udah bikin penasaran.

  3. Adaptasi dari karya visual yang unik – Beda dari film adaptasi komik superhero biasa, ini dari novel grafis yang lebih atmosferik dan artistik.

  4. Isu yang relevan – Dunia pasca-otomatisasi, AI yang ditinggalkan, manusia yang bergantung dan akhirnya ditinggal oleh teknologi. Itu semua terasa makin nyata sekarang.

Saya juga sempat ikut forum diskusi daring, dan banyak yang bilang kalau ini bakal jadi modern classic kayak Children of Men atau Her. Dan saya setuju.

đź§ł Tips Menonton The Electric State: Biar Maksimal!

ketegagan film the electric state

Kalau kamu mau nonton film ini dan pengen dapet pengalaman penuh, coba ikuti beberapa tips dari saya:

  1. Tonton di layar besar – Ini film yang punya kekuatan visual. Jangan cuma nonton di HP sambil rebahan.

  2. Fokus, jangan multitasking – Banyak momen hening dan simbolik. Kalau kamu lewatkan satu adegan kecil, bisa kehilangan makna besar.

  3. Baca sedikit tentang novelnya – Biar ngerti konteks dunia yang dibangun. Nggak harus baca semua, cukup intip di Goodreads atau YouTube.

  4. Siapkan tisu – Serius, ada beberapa adegan yang menyayat hati banget. Dan bukan karena sedih-sedih dramatis, tapi karena terlalu dekat sama realitas kita.

📚 Pelajaran yang Saya Petik dari Film Ini

Jujur, saya nggak nyangka The Electric State akan ngasih saya refleksi hidup. Tapi ya, kadang kita belajar dari hal-hal nggak terduga.

Saya jadi kepikiran soal hubungan saya sama teknologi. Saya guru yang sering pakai AI dan platform digital buat ngajar. Tapi film ini nunjukkin sisi lain: bagaimana kalau teknologi jadi terlalu dekat, dan akhirnya malah meninggalkan kita?

Saya juga jadi inget pentingnya empati dan hubungan manusia—yang di film ini, justru ditunjukkan oleh robot. Ironis, ya?

Dan satu hal lagi, film ini ngajarin bahwa harapan itu bisa tetap hidup, bahkan di dunia yang udah rusak. Kita cuma perlu terus berjalan.

🔍Harus Nonton, Serius!

The Electric State bukan cuma film sci-fi biasa. Ini adalah film tentang hubungan manusia dan teknologi, kehilangan dan harapan, yang dibungkus dengan visual menakjubkan dan narasi yang menyentuh hati.

Kalau kamu pecinta film sci-fi, suka hal-hal yang mikir, atau cuma pengen liat dunia futuristik yang beda dari biasanya—film ini wajib banget kamu tonton.

Dan kalau kamu guru kayak saya, bisa juga lho dijadikan bahan diskusi sama murid tentang etika teknologi dan kemanusiaan. Seru banget!

Selain itu, The Electric State juga membuka ruang diskusi yang luas tentang masa depan umat manusia dan arah perkembangan teknologi yang kini semakin tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Film ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga cerminan dari kegelisahan kolektif kita terhadap kecanggihan yang kian hari makin tak terkendali. Ketika robot dalam film mampu menunjukkan kasih sayang, sementara manusia justru kehilangan empatinya, kita diajak untuk merenung—apa sebenarnya yang membuat kita benar-benar manusia

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Paddington in Peru: Ketika Rindu Rumah Membawa Beruang ke Petualangan Baru disini

Arvin dio