Selaso Jatuh Kembar: Rumah Musyawarah yang Sarat Filosofi dan Estetika

Jujur aja ya, pertama kali saya denger nama Selaso Jatuh Kembar, saya sempat mikir itu semacam tarian atau nama seni tradisional. Tapi ternyata… itu adalah rumah adat khas Riau, dan bukan sembarang rumah! Pas saya lagi jalan-jalan ke daerah Riau buat penelitian kecil-kecilan, saya diajak ke salah satu rumah adat ini di Kabupaten Indragiri Hilir. Dan beneran deh, saya langsung merasa kagum.

Bayangin aja, rumah panggung tinggi yang berdiri gagah dengan dua selasar (selaso) yang jatuh ke bawah. Bentuknya simetris, atapnya tinggi, dan tiang-tiang kayunya menjulang rapi. Tapi bukan cuma bentuknya yang bikin saya melongo. Filosofinya itu loh—dalam banget.

Rumah ini dinamai Culture Selaso Jatuh Kembar karena memiliki dua ruang utama (selasar) yang lebih rendah dari ruang tengah, sebagai simbol kerendahan hati pemimpin dalam melayani rakyat. Dalam adat Melayu Riau, rumah ini bukan untuk tinggal, tapi untuk musyawarah, tempat orang berkumpul, menyampaikan aspirasi, dan menyelesaikan persoalan.

Saya yang tadinya cuma niat foto-foto doang jadi betah duduk di pelatarannya sambil dengerin cerita dari penjaganya. Katanya, rumah ini sering dipakai buat acara adat, pengambilan keputusan, sampai latihan silat. Beneran multifungsi, tapi penuh makna.

Apa yang Membuat Selaso Jatuh Kembar Begitu Indah?

Rumah Adat Selaso Jatuh Kembar Berasal dari Riau: Bentuk, Keunikan, dan Foto

Saya pernah lihat banyak rumah adat—dari Tongkonan Toraja sampai Rumah Gadang Minang—tapi Selaso Jatuh Kembar ini punya pesona yang beda. Mungkin karena kesederhanaan arsitekturnya tapi tetap terasa elegan. Dan yang paling menarik, semua elemen di rumah ini punya arti simbolik Wikipedia.

Misalnya, jumlah tiangnya ganjil—biasanya 24 atau 36 tiang, tergantung kebutuhan adat. Tiap tiang itu melambangkan lapisan sosial dalam masyarakat. Atapnya bentuk limas, disebut lipat ke bawah, melambangkan doa agar rahmat turun dari atas ke bumi.

Bahan-bahannya juga 100% alami: kayu meranti, nibung, dan atap daun rumbia. Semua itu nggak cuma estetik, tapi juga tahan terhadap cuaca tropis. Saya sempat nanya, kenapa nggak pakai semen atau keramik? Jawabannya bikin saya manggut-manggut, “Karena rumah ini bukan untuk kemewahan, tapi untuk kemaslahatan.”

Dan satu hal lagi yang bikin saya terkesan: ornamen ukiran di pinggir rumah itu khas Melayu banget, banyak mengandung motif tumbuhan dan alam seperti bunga tanjung, pucuk rebung, dan ombak beriak. Jadi, bukan cuma indah dipandang, tapi juga kaya akan filosofi.

Mengapa Selaso Jatuh Kembar Wajib Dilestarikan?

Sekarang mari kita serius sedikit. Gimana rasanya kalau generasi mendatang cuma bisa lihat Selaso Jatuh Kembar di Google Images?

Nggak lucu, kan?

Rumah adat ini adalah bukti nyata bahwa leluhur kita punya sistem sosial dan budaya yang rapi. Di balik bentuk rumah yang unik itu, tersembunyi nilai demokrasi lokal, keterbukaan dalam bermusyawarah, dan rasa gotong royong yang kuat. Tapi sekarang, rumah seperti ini makin jarang ditemui. Banyak yang rusak karena usia, dan yang lebih menyedihkan, banyak yang nggak tahu lagi fungsi dan maknanya.

Saya pernah ngobrol sama anak-anak muda di Pekanbaru, dan mereka cuma tahu Selaso Jatuh Kembar itu “ya rumah adat sih.” Padahal, pelestarian itu dimulai dari pengetahuan. Kalau kita nggak tahu, ya bagaimana bisa peduli?

Melestarikan rumah adat ini bukan cuma soal menjaga bangunan tua, tapi juga merawat jati diri bangsa. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?

Cara Melestarikan Selaso Jatuh Kembar (Dan Saya Belajar dari Kesalahan)

Waktu pertama kali ikut kampanye pelestarian budaya lokal di Riau, saya sok-sokan bikin poster, upload ke Instagram, dan merasa sudah cukup. Tapi ternyata… itu nggak cukup, bro.

Pelestarian itu nggak cuma soal eksistensi, tapi juga fungsi.

Berikut ini beberapa cara yang saya pelajari, dan kamu bisa lakukan juga:

  1. Kunjungi langsung. Jangan cuma lihat dari internet. Rasakan atmosfernya, ngobrol sama tokoh adat, dan pelajari sejarahnya dari sumber langsung.

  2. Ajarkan ke anak-anak. Di beberapa sekolah di Riau, ada kegiatan kunjungan ke rumah adat. Itu bagus banget! Tapi bisa juga bikin modul pembelajaran ringan soal rumah adat ini.

  3. Libatkan rumah adat dalam event lokal. Misalnya untuk pernikahan adat, pelatihan silat, atau lomba pantun. Kalau rumah ini “hidup” secara fungsi, dia akan terus eksis.

  4. Dokumentasikan dan sebarkan. Bikin video, artikel, atau konten informatif di YouTube, TikTok, atau blog. Konten budaya itu lagi naik daun, lho.

  5. Kolaborasi dengan pemerintah. Ini penting. Tapi kita juga harus jadi jembatan antara masyarakat dan lembaga. Jangan nunggu top-down mulu.

Saya pribadi belajar dari pengalaman itu—bahwa sekadar “ikut kampanye online” itu baik, tapi gak cukup. Harus ada aksi nyata, minimal dalam komunitas kecil.

Peran Pemerintah dalam Menjaga Selaso Jatuh Kembar

Mengenal Lebih Dekat Rumah Adat Riau | Indonesia Traveler

Kita nggak bisa ngomongin pelestarian budaya tanpa nyenggol pemerintah. Saya kasih jempol untuk beberapa inisiatif yang udah jalan, kayak program Revitalisasi Rumah Adat dari Dinas Kebudayaan Provinsi Riau. Beberapa rumah Selaso Jatuh Kembar direnovasi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya. Keren sih.

Pemerintah juga udah mulai mendata rumah adat dan masukkan dalam e-catalog budaya. Tapi… masih banyak PR.

Beberapa tempat belum punya anggaran cukup buat renovasi. Ada yang bangunannya udah hampir roboh. Saya pernah lihat langsung, rumah adat yang tiangnya keropos dan bocor berat. Ironisnya, rumah itu statusnya cagar budaya.

Harapan saya sih, pemerintah nggak cuma fokus pada fisik, tapi juga program edukasi budaya, masukin kurikulum lokal, dan kasih insentif buat warga yang jaga rumah adat. Dan jangan lupa libatkan komunitas kreatif lokal—yang biasanya punya cara unik buat ngenalin budaya ke anak muda.

Ini Bukan Sekadar Rumah, Ini Identitas Kita

Selama saya nulis ini, saya keinget momen duduk di beranda rumah Selaso Jatuh Kembar, sore hari, sambil dengerin suara burung dan angin lewat celah dinding kayu. Tenang, damai, dan bikin saya mikir: rumah ini bukan cuma bangunan, tapi tempat jiwa Melayu berteduh.

Melestarikan Selaso Jatuh Kembar itu bukan nostalgia. Itu tanggung jawab kita.

Bukan karena rumahnya cantik—ya, itu bonus. Tapi karena nilai-nilai di dalamnya masih relevan. Di zaman serba digital ini, mungkin kita lupa soal musyawarah, kerendahan hati, dan solidaritas. Tapi rumah ini masih berdiri untuk mengingatkan kita akan semua itu.

Kalau kamu punya waktu libur nanti, sempatkan main ke Riau. Datanglah ke rumah adat ini, duduk sebentar, resapi tiap detilnya. Mungkin kamu akan pulang dengan cara pandang yang baru.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Payung Minangkabau: Tarian Romantis yang Sarat Filosofi dan Tradisi disini

Bayu Nugroho